Kejadian itu terjadi lagi. Suasana rumah kembali memburuk. Ayah dan ibunya kembali bersitegang. Rita hanya sembunyi berlinang air mata di balik dinding kamarnya.
Kali ini pertengkaran ayah dan ibu Rita disebabkan karena anjloknya nilai sekolahnya. Rita masih duduk di Kelas 2 SMP 1 Jakarta Pusat. Tingginya sebahu dengan paras yang cukup manis. Kemarin ia penerimaan lapor dan nilainya sangat buruk.
Rita tinggal di Jl. Jendral Sudirman No. 40. Ia tinggal ditemani oleh bibi Iyem, pembantunya. Rita jarang bertemu orang tuanya karena mereka berdua sangat sibuk. Ayah Rita, Thamrin jarang pulang ke rumah karena sering keluar kota untuk kunjungan kerja. Sedangkan ibunya, Rina juga sering keluar kota mengurus usaha Butiknya.
***
“Semua ini gara-gara kamu, Bu” bentak Thamrin.
“Ouh yah? Jadi kamu nyalahin semua pada aku Pak?” Jawab Rina membela diri.
“Iya, semua ini karena kamu, kalau bukan karena sering keluar kota mengurus bisnis butik kamu yang nggak jelas itu. Semua tak akan seperti ini” jelas Thamrin sambil menunjukkan nilai lapor Rita yang berisi nilai merah semua.
“Salahkan saja semua kepadaku Pak!” Rina balik membentak.
“Kalau kamu bisa beri perhatian sedikit saja dan mendampingi Rita lebih baik, maka nilainya tak akan seperti ini”
“Terus selama ini kamu dimana aja Pak? Apa kamu pikir kamu lebih banyak memberi anak kita perhatian?” tanya ibu Rita sambil menunjuk Rita yang terus saja menangis dibalik dinding.
“Hey ibu harusnya sadar, Ayah seperti ini karena saya bertanggung jawab sebagai kepala keluarga disini”
“Ayah seperti ini untuk memenuhi kebutuhan kalian berdua, untuk masa depan anak kita” lanjut Thamrin.
“Lah ibu kenapa juga harus mengurus Butik sampai ke luar kota dan mengabaikan Rita? Apa nafkah yang ayah berikan belum cukup?” Thamrin bertanya dengan nada sinis.
“Ibu juga melakukan ini untuk kebaikan kita semua, untuk masa depan Rita”
“Ayah tak mau tau, pokoknya ibu harus berhenti mengurus Butik ibu” paksa Thamrin.
“Maksud ayah? Ibu harus berhenti dari usaha ini gitu? Tak mungkin Pak, tidak mungkin” bela Rina menolak permintaan Thamrin.
“Ayah aja yang berhenti dari kantor ayah dan bantu ibu saja mengelola butik ini” balas Rina meminta Thamrin mengalah.
“Tidak bisa, pokoknya tidak bisa” bentak Thamrin geram.
Tiba-tiba tangan Thamrin melayang ke pipi Rina. Pacckk, pipi Rina memerah berbekas tangan suaminya sendiri. Pertengkaran pun makin hebat dan Rina mulai mengeluarkan air mata.
***
Pertengkaran itu masih saja berlanjut. Bahkan lebih keras lagi, tak puas adu jotos Thamrin kini menggunakan fisik.
Rita terpojok dibalik dinding kamarnya sambil menangis. Tak tahu harus apa lagi. Ia ingin sekali menghentikan pertengkaran tersebut. Pikirannya mulai carut marut. Semua tampak negatif baginya.
Rita tak tahan lagi. Ia kemudian berlari menuju dapur dengan berlinang air mata. Ayah dan Ibunya terkejut melihatnya.
“Lihat tuh, anak kita begitu menderita” kata Thamrin kembali menuduh istrinya, Rina.
Rina hanya tertegun, melihat kearah dapur dan memanggi-manggil Rita.
“Rita, kamu kenapa nak?”
Rita tak menjawab. Di dapur Ia mengambil sebuah belati dan berlari ke arah ayahnya dan memeluknya.
“Ada apa nak?” tanya Thamrin menenangkan Rita.
Dengan berlinang air mata di pipi Rita menatap wajah Ayahnya. Ia menggenggam belati itu dengan erat.
“Ayah, maafkan Rita yah?”
Tiba-tiba Rita menancapkan belati yang di genggamnya ke dada ayahnya. Thamrin pun mati seketika.
“Argghhhtttt….” Rina histeris dan berlari keluar meminta bantuan “Tolong!!..Tolong!!”
Belati telah menembus jantung Thamrin, ayah Rita. Darah mengucur deras dari dadanya. Sekilas baju kemeja putih yang dikenakannya berubah jadi merah. Kini ia meregang nyawa ditangan anaknya sendiri, putri terbaiknya Rita.
Rita masih berlinang air mata. Tersungkur di depan mayat ayahnya. Tangannya masih memegang belati yang berlumuran darah.
“Maafkan Rita, Ayah”
“Maafkan Rita”