Jawaban Hujan


Makassar, 4 Mei 2012

Sore itu aku masih dalam kelas BC 102. Kumasih setia mendengarkan celoteh dosen Psikologi Pendidikan yang sangat manis. Suasana kelas yang ramai membuat suara ibu dosen agak samar. Semua hamper tertidur, hanya Aswar yang begitu bersemangat mendengarkan dan menjawab pertanyaan ibu. Aku hanya mengangguk, bukan karena mengerti tapi karena mengantuk. Sungguh, kelas ini begitu terasa pengap. 

Lama berselang, tanda-tanda kelas akan bubar pun telah terendus. Ibu dosen segera menyimpulkan materi yang disampaikan tadi kepada kami. Pun dengan kami telah bersiap-siap tuk meluncur keluar dari kelas yang begitu pengap dan panas.
Suasana menjadi ramai tak terkendali saat ibu dosen berucap “terimaksih, sampai jumpa minggu depan”. Semua Mahasiswa berhamburan keluar kelas untuk pulang ke rumah masing-masing. Begitupun dengan aku. Namun langkah mereka tertahan. Gemerincik rintik air jatuh dari langit membuat mereka berfikir dua kali tuk melangkah. Suasana yang tadinya cerah kini berubah pekat. Ternyata hujan.

Disamping kelas BC 101, kami berkumpul menunggu hujan redah. Sembari menunggu redah, kami melakukan beberapa aktivitas. Sebagian berkumpul ditangga tuk bergosip. Sebagian saling berdiskusi tentang KKN (Kuliah Kerja Nyata) dan beberapa yang lainnya foto-foto. Sedang aku hanya berjalan berkeliling melihat situasi.
Waktu telah menunjukkan senja telah berakhir. Suara adzan magrib meperjelas fakta itu. Namun hujan semakin deras. Bahkan diiringi kilat dan Guntur yang semakin membahana. Semua aktivitas pun seketika berubah, dari yang tadinya bergosip, berdiskusi, dan foto-foto menjadi tutup telinga dan menjerit ketika kilat menyambar.

Malam semakin larut, wajah-wajah kami pun semakin murung dan gusar. Semakin gelisah menunggu langit berhenti menangis. Namun tak ada perubahan, malah semakin parah. Air kini merangsek memasuki ruang teras dan kelas. Petaka bagi yang mempunyai motor. Motor mereka kini tenggelam, setinggi lutut orang dewasa. Mereka pun langsung menyelamatka motor mereka meskipun basah.


Aku pun semakin gelisah. Tabaria bukan jarak yang dekat dari kampus, belum lagi aku harus jalan kaki. Entah pada siapa, tanpa sengaja aku bertanya “Hujan, kapan kau akan berhenti?”. Tiba-tiba terdengar jawaban dengan nada yang agak lebay “Subuhpie”. Sontak aku langsung kaget. Tak ada seorang pun sekelilingku. Mungkin itu jawaban dari hujan.

Artikel Bravo My Life Lainnya :

Scroll to top