Sumber Foto : Google
Menikmati rintik hujan di sore hari. Seorang pemuda terduduk di teras rumah. Ia sedang menanti waktu untuk menang. Menanti kemenangan melawan sang Ayah.
Langit mendung mewarnai senja kala itu. Aming sedang menunggu pengumuman kelulusan. Hatinya sangat deg-degan, ia tak bisa membayangkan kegagalan.
Sebelumnya Aming telah memasukkan lamarannya pada sebuah perusahaan. Ia telah mengikuti semua test dan prosedurnya, tinggal menunggu pengumuman kelulusannya. Anak muda ini sangat bercita-cita mengalahkan sang ayah. Dan jika Ia lulus dan bekerja di perusahaan itu, maka ia akan mengalahkan ayahnya.
***
Detik berganti menit, dan waktu itu akan segera tiba. Pengumuman kelulusan di terbitkan melalui media online. Aming semakin tak sabar menanti hari bersejarah dalam hidupnya.
Senja telah berganti malam. Pukul 19.00 WITA pengumuman akan segera bisa diakses. Selepas Magrib Aming bergegas menuju warnet terdekat dari rumahnya. Ia kian degdegan menanti pengumuman. Baginya, inilah salah satunya cara terbaik untuk mengalahkan sang Ayah. Jika ia gagal, maka sirnahlah sudah harapannya.
Ayah Aming adalah seorang Petani, namanya Rudi. Aming memanggilnya dengan sapaan Bapak. Ia selalu mengharapkan agar Aming bisa lebih hebat darinya. Rudi adalah seorang ayah yang giat dan baik. Ia mengorbankan segalanya untuk kesuksesan anaknya, Aming. Setiap pagi ia berkata kepada Aming “Kita sedang berperang nak ! Antara kau dan aku. Jika kau bisa lebih hebat dari ayah maka kau adalah pemenang. Tapi jika tidak, maka kau adalah pecundang”.
Kata itulah yang terus menerus terngiang di kepala Aming sehingga dia sangat termotivasi untuk mengalahkan ayahnya. “Aku harus bisa mengalahkan Bapak!” begitulah tekad Aming.
***
Dengan perlahan Aming membuka situs yang memuat pengumuman pelulusannya. Segera ia memasukkan nomor identitasnya beserta nomor tesnya. Detak jantungnya semakin kencang. Proses loading di komputer yang ia gunakan sangat lambat. Kepanikan muncul diraut wajahnya ketika harus mengulang lagi memasukkan nomor identitas dan nomor tesnya karena keterbatasan jaringan di warnet tersebut.
“Aduh, ini kenapa laload sekali sih” keluh Aming.
Namun kekhawatirannya hilang setelah melihat tulisan di layar computer Selamat, Anda diterima di Perusahaan Kami tepat di depan matanya.
“Yyyyeesssss, Akhirnya aku bisa mengalahkannya” Aming mengungkapkan keberhasilan dengan berteriak. Raut wajah gembira dia pancarkan. Senyumnya merekah.
Rasa bangga terhadap diri sendirinya memuncah bak ombak yang sedang mengamuk. Ia bisa merasa agak lebih sombong sekarang, karena berhasil mengalahkan Ayah.
“Akhiirnya aku bisa mengalahkan mengalahkan Bapak. Kini impianku terwujud, terimakasih Tuhan. Aku harus segera pulang dan berbangga diri didepannya, di depan Bapak”
“Aku tak sabar melihat dan mendengar pengakuan Bapak atas kemenanganku” bisik Aming dalam benak penuh kesombongan.
***
Aming pulang dengan riang. Ia tak sabar membuktikan kepada ayahnya bahwa dia adalah pemenangnya dan yang kalah adalah pecundangnya. Aming telah memenangkan Perang. Sungguh bahagia dia.
“Mak aku pulang!” sapa Aming pada ibunya.
“Eh anak Emak, sini cepat nak makan malam sudah menunggu” sahut ibu Aming.
“Tebak berita apa yang kubawa?”
“Apaan itu nak?” tanya sang ibu keheranan.
“Aku diterima kerja Mak!”
“Alhamdulillah ya Allah, Terimakasi Tuhan” Ibu Aming bersukur sambil memeluknya.
“Eh, Bapak mana bu?” tanya Aming.
“Pergi shalat di Mesjid nak, udah makan dulu sana!” ajak Ibu Aming.
Di meja makan Aming mengutarakan kesenangannya kepada Ibunya.
“Akhirnya Aku bisa mengalahkan Bapak, Mak. Sekarang aku adalah sang pemenang!”
Ibu Aming hanya tersenyum memandangi anaknya yang sedang gembira.
“Sesunggauhnya pemenang sejati itu bukanlah kau anakku, tapi Bapakmu!”
“Loh, kok gitu mak?” selidik Aming.
“Bapakmu telah memberikan semua potensi yang dimilikinya untuk membatumu mengalahkannya, itu semua untuk membantumu menjadi sukses” lanjut sang Ibu.
“Jadi, apa maksud Bapak terus mengatakan bahwa kita sedang perang, antara aku dan dia. Jika aku lebih hebat darinya maka aku adalah pemenangnya?” Aming masih belum mengerti.
Kembali Ibu Aming tersenyum.
“Itu adalah cara Bapakmu untuk membakar semangatmu. Itu adalah cara Bapakmu untuk membuatmu bergairah. Dan sekali lagi Bapakmu adalah pemenang yang sesungguhnya”
Tiba-tiba Aming tertegun mendengar perkataan sang Ibu. Matanya berkaca-kaca. Kesembongan atas kelulusannya yang sempat ingin dibanggakan didepan sang Ayah kini sirna sudah. Semuanya berganti rasa bangga kepada sang ayah.
Kesombongan karena telah menjadi pemenang, kini tiada lagi. Semua berganti menjadi rasa memiliki utang budi yang besar sekali kepada sang Ayah.
Aming tersadar bahwa betapapun hebatnya seorang anak, Ia tetap tidak bisa mengalahkan Ayahnya. Dan mungkin tak akan pernah terjadi, bahkan sampai mati pun.
Kini Aming menanti sang Ayah dengan senyuman dan sejuta Terimakasih. Mungkin juga dengan Air Mata. Air mata Bahagia.